Kesenian khas kebumen




Kesenian khas kebumen, tari lawet

Tari lawet merupakan tari yang berasal dari Kebumen, pencipnya ialah  Sardjoko yang lahir di Klaten tanggal 4 Agustus 1949. Tari lawet mulai diciptakan bulan Februari 1989, dikarenakan bupati menghendaki adanya tarian masal khas Kebumen pada pembukaan Jambore Daerah tingkat Jateng di Widoro, maka mulai diciptakan Tari Lawet yang ditarikan kurang lebih 200 orang penari. Tari Lawet merupakan refleksi budaya dari ciri khas Kebumen yang terkenal dengan sarang burung lawetnya. Sebelum membuat, beliau melakukan survey ke Karang bolong untuk mendapatkan inspirasi. Beliau melihat air samudra, orang yang sedang memanjat, gerak lincah burung Lawet yang sedang terbang. Burung lawet termasuk burung kebanggaan Kebumen yang dapat menghasilkan sarang burung lawet yang harganya sangat mahal. Gerakan tari lawet lincah dan ceria, sesuai dengan burung lawet tersebut. Makna tari lawet yaitu menggambarkan kehidupan burung yang berusaha hidup untuk mencari makan sehari-hari. Gerakan tari lawet antara lain: ngulet/angklingan, didis, loncat egot, lenggut, ukel nyutuk, lincah nyucuk, kepetan.
Musik iringan tari lawet disebut “Lawet Aneba“ (Laras Pelog Patet Barang). Berikut adalah syairnya :“bambang wetan pratandha wis gagat enjang. Sesamberana rebut marga mbarubut saking gua Karang bolong peksi lawet ireng menges wulune cukat trengginas katon gembira aneg luhuring samudra gung ngupa boga tumekaning surya anda lidir pra lawet bali maring gua”. Syair tersebut menceritakan tentang burung Lawet pada waktu bangun tidur lalu keluar gua untuk mencari makan. Sardjoko berharap agar tari lawet bisa berkembang pesat di Kebumen dan banyak disukai masyarakat, terutama anak putri. Sardjoko merancang kostum tari lawetnya sendiri. Kostum tari Lawet yang lengkap yaitu: (1) Jamang dan Garuda Mungkur, bentuknya burung lawet,warnanya kuning emas, (2) Baju, berwarna hitam dibagian depan berseret putih, (3) Celana berwarna hitam, (4) Sayap warnanya hitam bergambar bulu, (5) Kalung Kace, warna dasarnya merah dihiasi dengan warna kuning emas, (6) Stagen/benting/sabuk berwarna Merah, (7) Slepe, warna dasarnya merah dihiasai kuning emas, (8) Ancal, warna dasarnya merah dihiasi kuning emas, (9) Rampek, warnanya biru,menggambarkan pancaran air laut, (10) Sonder, warnanya putih,garis tepinya biru,bergambar lekukan bagaikan gelombang laut, (11) Ringgel/gelang kaki, berwarna kuning emas.
Tari lawet pertama kali dipentaskan di Bumi Perkemahan Widoro Payung pada tanggal 31 Agustus 1989. Setelah pementasan tersebut, perkembangan tari lawet mengalami perkembangan yang pesat dengan dipentaskannya tarian tersebut pada event-event besar, antara lain: perayaan HUT RI ke-46, tahun 1991 dalam acara Pembukaan Porseni SD Kabupaten Kebumen dipentaskan tari masal sejumlah 300 penari, pembukaan MTQ Pelajar tingkat Jawa Tengah di alun-alun Kebumen tahun 1993, Penutupan Poseni SD tingkat Jateng tahun 1993, peresmian Stadion Candradimuka tahun 1994, pembukaan Porseni SD tingkat pembantu Gubernur untuk Kedu tahun 1994, festival Ngunduh Saran Burung Lawet di TMII tahun 1995, juara I dalam Lomba Karya Tari Anak tahun 1996 di STSI Surakarta.
Tarian tersebut pun mengalami msa kejayaan pada masa pemerintahan bupati Amir Sudibyo dengan dimasukkannya tri lawet dalam kurikulum wajib muatan lokal Sekolah Dasar. Namun berganti kebijakan, berganti pula kebijakan. Pada tahun 2005, peraturan tersebut dihapus dan akibatnya tidak ada lagi upaya pelestarian tarian ini hingga saat ini. Tidak ada upaya sedikitpun dari pemerintah untuk mengangkat kembali tarian tersebut, imbasnya adalah generasi muda tidak ada lagi yang mengenal tarian ini, hanya megetahui sebatas nama. Suatu keprihatinan luar biasa pun kami temukan ketika kami mengetahui bahwa Dinas  Pendidikan Pemuda dan Olahraga juga Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pun tidak memiliki buku sumber  mengenai kesenian tersebut. Dan ternyata memang tidak pernah ada publikasi resmi dalam bentuk buku sekalipun tentang kesenian tersebut. Ketika kami mencari buku sumber kesenian tersebut, pihak DISPARBUD dan DIPORA hanya mengatakan usulan kami untuk membukukan kesenian tersebut bisa dijadikan masukan, padahal sudah sekian lamanya sejak tarian tersebut ada. Hal ini menunjukan sebuah keprihatinan luar biasa, sebuah ironi dalam kebudayaan yang sudah sepatutnya diupayakan pelestarianya oleh semua pihak, apalagi pemerintah.
Ditengah keprihatinan yang luar biasa dengan tidak adanya kepedulian dari pemeritah kabupaten kebumen terhadap kelestarian tari lawet, masih ada segelintir masyarakat yang peduli. Tari lawet ini masih dibudidayakan oleh sebagian masyarakat daerah Sempor. Antusias masyarakat daerah Sempor sebetulnya merupakan sinyal positif untuk mengembangkan kesenian tersebut, jika pihak pemerintah mendukungnya bahwa tari lawet sebetulnya cukup mengakar sebagai budaya daerah masyarakat Kebumen. Pemerintah kurang menyadari betapa pentingnya kelestarian tarian tersebut dan nilai seni tingi yang terkandung dalam kesenian tersebut, terbukti dengan beberapa pementasan tari lawet dalam beberapa event-event besar, bahkan justru masyarakat luar lebih tertarik dan cenderung bermninat pada kesenian tersebut. Pernah suatu ketika TIM dari TV Kompas mendatangi Sardjoko untuk mengekspos tarian tersebut secara mendalam. Hal ini menunjukan bahwa sebetulnya tari lawet memiliki daya pikat dan layak untuk dikembangkan. Namun semua itu perlu dukungan nyata dari pihak pemerintah, karena tanpa ada dukungan dari pemerintahan, pelestarian tarian tersebut tidak akan maksimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Translate